Hukum Pernikahan

Kohati Semarang
0


 

Pendahuluan

Pernikahan merupakan salah satu tahap dari rangkaian perjalanan hidup yang ditunggu oleh hampir setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan. Pernikahan adalah norma turun-menurun yang ada di seluruh kebudayaan manusia sepanjang sejarah. Terkhusus bagi masyarakat Indonesia, pernikahan ialah proses pengikatan janji suci antara laki-laki dan perempuan.

Secara etimologi (bahasa), nikah berasal dari bahasa Arab al-dhammu yang berarti “berkumpul.” Sedangkan menurut terminologi fikih (istilah syariat), akad yang menyimpan makna diperbolehkannya hubungan intim (antara suami-istri) dengan menggunakan lafaz nikah atau sejenisnya. Dengan kata lain, pernikahan adalah dasar hukum yang melegalkan hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan. Dapat dipahami bahwa pernikahan adalah penyatuan dua insan (laki-laki dan perempuan) melalui akad yang menjadi dasar kebolehan penyatuan. Menurut ulama mazhab Syafi’i, hukum asal menikah adalah sunnah atau anjuran sebagaimana pernyataan Imam Nawawi, “perintah menikah dalam Al-Qur’an bermakan anjuran, bukan wajib. Pandangan ini disetujui oleh mayoritas ulama”.

Dalam Al-qur’an dan Hadis Nabi Muhammad juga dalam kehidupan sehari-hari orang Arab, sering memakai kata nikah dan zawaj yang artinya adalah pernikahan atau perkawinan menurut literatur fiqh berbahasa arab. Menurut Islam perkawinan adalah perjanjian suci yang kuat dan kokoh untuk membentuk keluarga yang kekal, saling menyantuni, saling mengasihi, aman tenteram, bahagia dan kekal antara seorang laki-laki dan perempuan yang disaksikan oleh dua orang saksi laki-laki. Selain itu, perkawinan juga diatur dalam hukum Islam harus dilakukan dengan akad atau perikatan hukum antara kedua belah pihak. Pernikahan atau perkawinan dapat diartikan sebagai sebuah ikatan, apabila sesuatu sudah diikatkan antara yang satu dengan yang lain maka akan saling ada keterikatan dari kedua belah pihak. (QS. AdDhukhan: 54). Yang artinya: “Demikianlah dan kami kawinkan mereka dengan bidadari".

Menurut Abu Zahrah perkawinan dapat menghalalkan hubungan biologis antara laki-laki dan perempuan, dengan adanya perkawinan ini maka laki-laki dan perempuan mempunyai kewajiban dan haknya yang harus saling dipenuhi satu sama lainnya sesuai syariat Islam. Perkawinan berasal dari kata dasar “kawin” yang mempunyai makna bertemunya alat kelamin laki-laki dan alat kelamin wanita yang keduanya sudah memiliki aturan hukum yang sah dan halal sehingga dapat memperbanyak keturunan. Seperti yang dituliskan dtuliskan dalam Firman Allah SWT : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya,dan dijadikan-Nya diantara mu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (QS. Ar-Rum ayat 21) 

Pembahasan

Karena merupakan kegiatan sakral serta bernilai ibadah, pernikahan kemudian memiliki hukum-hukum yang harus ditaati. Hukum pernikahan ini sendiri dilaksanakan berdasarkan pada kondisi yang terjadi pada kedua calon pasangan pengantin. Hukum pernikahan di dalam Islam kemudian dibagi kepada beberapa jenis, di antaranya:

  1. Wajib

Hukum nikah yang pertama adalah wajib. Kewajiban nikah diperuntukkan bagi orang yang memiliki kemampuan untuk menikah dan punya keinginan kuat untuk menyalurkan gairah seksualnya (tidak bisa ditahan-tahan lagi) sehingga dikhawatirkan akan terjerumus ke dalam kemaksiatan. Kemampuan menikah maksudnya mampu untuk memberikan nafkah, yang terdiri dari mahar, sandang, pangan dan papan. Jika seseorang berada pada posisi ini, maka ia wajib menikah untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Bagi orang yang sudah mampu menikah, nafsunya telah mendesak dan takut terjerumus dalam perzinaan, maka ia wajib menikah. Karena menjauhkan diri dari perbuatan haram adalah wajib.

Allah berfirman dalam QS An-Nur 33:

 وَلْيَسْتَعْفِفِ الَِّينَ لَ يَِدُونَ نِكَحًا حَتَّيُغْنِيَُمُ اللَُّ مِنْ فَضْلِِ

Artinya : “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.”

Hukum ini berlaku bagi mereka yang telah mampu melaksanakan nikah, mampu memberi nafkah pada isteri serta hak dan kewajiban lainnya dan dikhawatirkan jatuh pada perbuatan maksiat jika tidak melakukannya.

  1. Sunnah

Hukum ini berlaku bagi mereka yang mampu dan tidak dikhawatirkan jatuh pada perbuatan maksiat jika tidak melakukannya.Bagi orang yang nafsunya telah mendesak dan mampu menikah, tetapi masih dapat menahan dirinya dari perbuatan zina, maka sunnah baginya menikah. Nikah baginya lebih utama daripada bertekun diri beribadah. Kesunahan nikah diperuntukkan bagi orang yang memiliki kemampuan untuk menikah, mau, dan punya keinginan untuk menyalurkan gairah seksualitas, namun tidak sampai pada taraf dikhawatirkan akan terjatuh ke dalam kemaksiatan. Jika seseorang berada pada posisi ini, maka ia disunahkan untuk segera menikah. Atau lebih baik ditinggalkan. Hukum ini berlaku bagi orang yang berkeinginan untuk menyalurkan gairah seksualitas namun tidak memiliki kemampuanuntuk menafkahi. Orang yang berada pada posisi ini sebaiknya menunda keinginan menikah hingga ia mampu. Adapun gairah seksualitasnya bisa dikurangi dengan berpuasa atau berolahraga dengan rutin.

  1. Makruh

Hukum ini berlaku bagi mereka yang merasa bahwa dirinya akan berbuat zalim pada istrinya jika menikah, namun tidak sampai pada tingkatan yakin, misalnya karena ia tidak memiliki nafsu yang kuat, khawatir tidak mampu menafkahi, tidak begitu menyukai isterinya, dan lain-lain. Dalam pandangan Shāfi’iyah, hukum makruh berlaku jika yang bersangkutan punya cacat seperti pikun, sakit menahun, dan lain-lain. Hukum makruh menurut Shāfi’iyah juga berlaku bagi mereka yang menikahi wanita yang sudah menerima pinangan orang lain, pernikahan muhallil yang tidak dikemukanan dalam akad. Hukum ini berlaku bagi seseorang yang memang tidak menginginkan nikah, entah karena perwatakannya demikian, ataupun karena suatu penyakit. Pada saat yang sama, ia juga tidak memiliki kemampuan untuk menafkahi istri dan keluarganya. Jika dipaksakan menikah, dikhawatirkan ia tidak dapat menunaikan hak dan kewajibannya dalam pernikahan atau bahkan malah dapat merugikan pasangannya, baik secara langsung maupun tidak langsung.

  1. Mubah

Bagi orang yang tidak terdesak oleh alas analasan yang mengharamkan untuk menikah, maka nikah hukumnya mubah baginya. berlaku bagi mereka yang tidak ada faktor penghalang maupun pendorong untuk menikah.

  1. Haram

Berlaku bagi mereka yang tidak mampu lahir batin dan jika tetap menikah, akan menyebabkan madarat bagi istrinya secara pasti. Bagi seseorang yang tidak mampu memenuhi nafkah batin dan lahirnya kepada istri serta nafsunyapun tidak mendesak, maka ia haram menikah. Keharaman nikah berlaku bagi orang yang menikah dengan tujuan menyakiti atau tujuan-tujuan lain yang melanggar ketentuan agama. Misalnya, jika ada orang yang berkeinginan kuat (berniat) untuk menyakiti dan menyiksa pasangan dalam pernikahan, maka ia diharamkan untuk menikah.

Kesimpulan

Pernikahan sangat dianjurkan Allah SWT, dalam beberapa ayat disebutkan keutamaan menikah oleh karenanya pernikahan merupakan ibadah, kecintaan kita pada istri atau suami dapat mendorong kita untuk membimbingnya pada kebaikan yang menghadirkan kecintaan Allah pada keluarga kita. Adakah cinta yang lebih patut kita harapkan dari cintanya Sang Maha Pencinta?. Nabi Muhammad saw juga menganjurkan kita dalam banyak hadits agar menikah dan melahirkan anak. Beliau menganjurkan kita mengenai hal itu dan melarang kita hidup membujang, karena perbuatan ini menyelisihi Sunnahnya. Terdapat juga hukum menikah seperti wajib, sunnah, makruh, mubah dan haram.

*** Oleh: Putri Dwi Hapsari (Kohati Cabang Semarang)



Daftar Pustaka

Ashsubli, M. (2015). Undang-Undang Perkawinan Dalam Pluralitas Hukum Agama (Judicial Review Pasal Perkawinan Beda Agama). Jurnal Cita Hukum, 2(2), 40841.

Atabik, A., & Mudhiiah, K. (2016). Pernikahan dan Hikmahnya Perspektif Hukum Islam. YUDISIA: Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam, 5(2).

Musyafah, A. A. (2020). Perkawinan Dalam Perspektif Filosofis Hukum Islam. Crepido, 2(2), 111-122.

Muzammil, I. (2019). Fiqh Munakahat: hukum pernikahan dalam Islam.

Samad, M. Y. (2017). Jurnal Hukum Pernikahan Dalam Islam. Istiqra: Jurnal Pendidikan dan Pemikiran Islam, 5(1).

Wibisana, W. (2016). Pernikahan dalam islam. Jurnal Pendidikan Agama Islam-Ta’lim, 14(2), 185-193.






Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top