Pendahuluan
Pernikahan merupakan sebuah perintah agama yang diatur oleh syariat Islam dan merupakan satu-satunya jalan penyaluran seks yang disahkan oleh agama Islam. Dari sudut pandang ini, maka pada saat orang melakukan pernikahan pada saat yang bersamaan dia bukan saja memiliki keinginan untuk melakukan perintah agama (syariat), namun juga memiliki keinginan memenuhi kebutuhan biologisnya yang secara kodrat memang harus disalurkan.
Dalam kehidupan ini, manusia ingin memenuhi berbagai kebutuhannya, begitu juga kebutuhan biologis sebenarnya juga harus dipenuhi. Sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin,Islam telah menetapkan bahwa satu-satunya cara untuk memenuhi kebutuhan biologis seeorang yaitu hanya dengan cara pernikahan, pernikahan merupakan satu hal yang sangat menarik jika kita lebih mencermati kandungan makna tentang masalah pernikahan ini. Al-Qur’an telah menjelaskan bahwa di antara tujuan pernikahan adalah agar pembelai laki-laki dan perempuan mendapatkan kedamaian dalam hidup seseorang (litaskunu ilaiha). Ini berarti pernikahan sesungguhnya bukan hanya sekedar sebagai sarana penyaluran kebutuhan seks namun lebih dari itu pernikahan juga menjanjikan perdamaian hidup bagi manusia dimana setiap manusia dapat membangun surga dunia di dalamnya. Inilah hikmah disyari’atkannya pernikahan dalam Islam, selain memperoleh ketenangan dan kedamain, juga dapat menjaga keturunan (hifdzu al-nasli).Islam mensyari’atkan pernikahan untuk membentuk mahligai keluarga sebagai sarana untuk meraih kebahagiaan hidup. Islam juga mengajarkan pernikahan merupakan suatu peristiwa yang patut disambut dengan rasa syukur dan gembira.
Pembahasan
A. Wajib taubat sebelum nikah
Dalam hukum Islam, melakukan hubungan kelamin antara pria dan wanita tanpa diikat oleh tali perkawinan (akad nikah) yang sah disebut zina. Hubungan seks tersebut tanpa dibedakan apakah yang melakukannya gadis, jejaka, bersuami atau janda, beristeri atau duda. Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian pendahuluan bahwa hukum Islam melarang perbuatan zina. Bahkan bukan saja melakukan zina itu yang dilarang , mendekatinyapun tidak diperbolehkan. Perintah ini ditegaskan Allah dalam firman-Nya:
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. (QS. Al-Isra’ :23)
Ayat di atas melarang segala bentuk perbuatan yang dapat membawa kepada terjadinya perzinaan. Karena biasanya zina itu baru dilakukan setelah terlebih dahulu melakukan pendahuluannya, seperti memegang-megang, memeluk, mencium, dan lain sebagainya. Zina merupakan perbuatan keji dan terkutuk. Manusia yang normal dan sadar akan kedudukannya sebagai makhluk ciptaan Allah yang paling baik, sempurna, dan mulia, pasti akan berpendapat bahwa menyalurkan seks secara bebas (free seks) adalah sama dengan perbuatan binatang. Ada dua macam istilah yang biasa
dipergunakan bagi pelaku zina, yaitu zina muhsan dan zina gairu muhsan. Yang dimaksud zina muhsan ialah zina yang dilakukan oleh orang yang telah atau pernah menikah secara sah, sedangkan zina gairu muhsan ialah zina yang dilakukan oleh orang yang belum pernah menikah.
Islam tidak menganggap bahwa zina gairu muhsan yang dilakukan oleh gadis atau jejaka sebagai perbuatan biasa ,melainkan tetap memandangnya sebagai perbuatan terkutuk yang harus dikenakan hukuman (had) zina. Hanya saja kuantitas dan frekwensi hukuman antara zina muhsan dan gairu muhsan ada perbedaan. Bagi muhsan hukumannya dirajam sampai mati, sedangkan bagi gairu muhsan dicambuk seratus kali. Allah SWT. berfirman:
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah kamu belas kasihan kepada keduanya sehingga kamu tidak (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman. (QS.al-Nur:2). Adapun orang yang pernah menikah atau sedang bersuami atau sedang beristeri,hukumannya lebih berat lagi, yaitu dengan dirajam sampai ia mati. Sanksi hukuman ini disebabkan orang yang berzina muhsan itu pernah merasakan persetubuhan dalam pernikahan yang sah. Ketentuan ini dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah sebagai berikut:
Diriwayatkan dari Abi Hurairah, ia berkata: Seorang laki-laki telah datang kepada Rasulullah saw., beliau sedang berada di masjid. Ia memanggilnya, seraya berkata: Ya Rasulullah, sungguh aku telah berzina. Kemudian Nabi berpaling (tidak menghiraukannnya). Ia mengulangi sampai empat kali (pengakuan). Setelah empat kali bersaksi atas dirinya (mengakui), lantas Nabi memanggilnya, lalu berkata: Apakah engkau gila? Ia menjawab: Tidak. Kemudian beliau bertanya lagi: Apakah kamu telah beristeri (muhsan)? Ia menjawab: Ya. Setelah itu Nabi berkata kepada para sahabat: Bawa dan rajamlah dia.
B. Tujuan dan hikmah pernikahan
Pernikahan adalah salah satu media untuk mengembangkan keturunan dan penyaluran insting untuk melakukan relasi seksual. Untuk itu Allah telah memberikan aturan-aturan dan batasan-batasan untuk menjamin agar pernikahan itu bias dicapai oleh setiap orang.
Al-Qur’an menunjukkan bahwa cara riil dan natureuntuk meraih kedamaian dan kepuasan dalam hidup adalah melalui hubungan suami-istri yang baik sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh Allah lewat apa yang telah difirmankan-Nya dan juga apa yang telah dilakukan oleh rasul-Nya, yaitu Adam dan Siti Hawa. Melalui tatanan hukum yang tersistematis dengan baik, maka kedamaian dalam pernikahan dapat tercapai dan terjamin secara nyata, karena dalam diri manusia terdapat insting untuk menyukai lawan jenis. Prinsip utama dari kehidupan pernikahan adalah manusia harus
hidup secara berpasang-pasangan yaitu seorang laki-laki dan seorang perempuan harus menikah dan hidup bersama dalam sebuah ikatan pernikahan yang bahagia. (Haifaa A. Jawad, 2002:103a)
Islam telah menetapkan pentingnya pernikahan yang agung. Pernikahan betul-betul dianjurkan berdasarkan beberapa: pijakan, agama, moral dan sosial. Pernikahan dalam Islam dinilai sebagai sebuah ikatan yang kokoh dan sebuah komitmen yang menyeluruh terhadap kehidupan, masyarakat dan manusia untuk menjadi seseorang yang terhormat. Pernikahan adalah sebuah janji yang diikrarkan oleh pasangan suami istri terhadap diri mereka sendiri dan terhadap Allah. Usaha yang dilakukan oleh masing-masing pasangan suami istri ini bertujuan untuk mempermudah mereka menemukan pemenuhan bersama (mutual fullfilment) dan realisasi diri (self realisation) atas nama cinta dan kedamaian, keinginan dan harapan. Ini semua karena, pernikahan dalam Islam secara esensial, adalah sebuah tindakan kesalehan dan Pernikahan dan Hikmahnya Perspektif Hukum Islam dalam ketaatan yang sempurna.Dari uraian di atas tersebut mengisyaratkan bahwa hidup membujang tidak dianjurkan dalam Islam, baik kepada laki-laki maupun perempuan. Hal ini mempertimbangkan adanya kenyataan bahwa kebutuhan laki-laki dan perempuan itu sama-sama logis dan sah.
Sesungguhnya, Islam memandang pernikahan itu adalah sebagai sebuah jalan hidup yang alami baik bagi perempuan maupun bagi laki-laki, dan mungkin lebih dari sekedar memandang bahwa pernikahan itu hanya memberikan beberapa bentuk jaminan ekonomis bagi perempuan. Harus ditekankan di sini, bahwa kemanfaatan bagi perempuan sama sekali bukan indikasi bahwa pernikahan dalam Islam hanyalah sebuah transaksi ekonomi belaka. Sesungguhnya, faktor ekonomi merupakan aspek yang paling terakhir dari sebuah kegiatan, penekanannya selalu didasarkan kepada kualitas-kualitas keagamaan dari pasangan suami istri tersebut. (Haifaa A. Jawad, 2002:103-104a)
Tujuan pernikahan Islam tidak dapat dilepaskan dari pernyataan al-Qur’an, sumber ajarannya yang pertama. Al-Qur’an menegaskan, bahwa di antara tanda-tanda kekuasaan Allah SWT ialah bahwa Ia menciptakan istri-istri bagi para lelaki dari jenis mereka sendiri, agar mereka merasa tenteram (sakinah). Kemudian Allah menjadikan/ menumbuhkan perasaan cinta dan kasih sayang (mawaddah dan rahmah) di antara mereka. Dalam hal demikian benar-benar terdapat tanda-tanda (pelajaran) bagi mereka yang mau berpikir.(Ar-Rum : 21)
Dalam bagian lain, al-Qur’an menyatakan bahwa para istri adalah pakaian (libas) bagi para suami, demikian pula sebaliknya, para suami adalah pakaian bagi istrinya. (Al-Baqarah (2):187)
Kehidupan yang tenteram (sakinah) yang dibalut perasaan cinta kasih dan ditopang saling pengertian di antara suami dan istri – karena baik istri maupun suami menyadari bahawa masing-masing sebagai pakaian bagi pasangannya – itulah yang sesungguhnya merupakan tujuan utama disyari’atkannya pernikahan dalam Islam. Suasana kehidupan yang dituju oleh pernikahan dibangun atas dasar yang kokoh, antara lain suami dan istri ada sekufu (kafaah). Kafaah dalam pernikahan adalah sama dan sebnding (al-musawat wa al-mumasalat), misalnya yang paling penting, seagama atau sama-sama
bercita-cita mengembangkan keturunan yang shalih dan lain-lain. Sebagai konsekuensi kafaah adalah soal agama, seorang wanita muslimah haram kawin dengan pria kafir.
Dalam hal kafaah, baik Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam asy-Syafi’I maupun Imam Hanbal memandang penting faktor agama sebagai unsur yang harus diperhitungkan. Bahkan Imam asy-Syafi’I dan Imam Malik lebih menekankan pentingnya unsur ketaatan dalam beragama. (Abdurrahman al-Jaziri, tt:58-60)
Pentingnya kafaah dalam pernikahan sangat selaras dengan tujuan pernikahan di atas; suatu kehidupan suami istri yang betul-betul sakinah dan bahagia. Suami istri yang sakinah dan bahagia akan mampu mengembangkan hubungan yang intim dan penuh kemesraan. Pada gilirannya akan melahirkan generasi pelanjut yang baik dan shalih, yang akan menjadi pemimpin orang-orang yang bertaqwa (li al-muttaqina imama).(Al-Furqan (25):74)
Melestarikan keturunan (nasl) merupakan tujuan disyari’atkan pernikahan. Pernikahan di samping bertujuan melestarikan keturunan yang baik, juga untuk mendidik jiwa manusia agar bertambah rasa kasih sayangnya, bertambah kelembutan jiwa dan kecintaannya, dan akan terjadi collaboration of feeling antara dua jenis kelamin, sebab antara keduanya ada perbedaan cita rasa, emosi, kesanggupan mencintai, kecakapan dan lain-lain.(Abbas Mahmud al-Aqqad, 1985:84)
Dan yang terpenting lagi dalam perkawinan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu menjadikan anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah Tentunya keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan pendidikan Islam yang benar.
Islam memandang bahwa pernikahan harus membawa maslahat, baik bagi suami istri, maupun masyarakat. Sedemikian bermanfaatnya pernikahan sampai-sampai nilai kebaikan (maslahah) yang dihasilkan olehnya lebih besar daripada keburukan-keburukan (madarat). Dilihat dari titik pandang kolektif manfaat yang paling berarti tentu saja adalah meneruskan keturunan, tetapi ini bukan hanya sekedar pengabaian anak secara fisik saja. Lebih dari itu, lembaga pernikahan menjamin agar manfaat penerusan keturunan tersebut akan dapat menjadi suci dan tertib, tidak vulgar dan semrawut. Sedang ditinjau dari segi agama khusus, memiliki anak itu berarti melakukan hal-hal sebagai berikut: merealisasikan kehendak Allah SWT, memenuhi panggilan Nabi SAW untuk menikah dan menambah jumlah pengikut beliau, serta menuai buah kebaikan dari doa anaknya nantinya. Kaum Muslimin percaya, bahwa ketika orang tua itu meninggal dan memiliki anak (laki-laki atau perempuan), maka doa anaknya akan berguna baginya. Di samping, apabila seorang anak meninggal dunia terlebih dahulu sebelum orang tuanya, maka anak tersebut nanti akan menjadi perantara yang membantu orang tuanya. (Haifaa A. Jawad, 2002:105)
Pernikahan merupakan suatu bentuk hubungan manusia yang paling agung yang harus dipenuhi segala syarat dan rukunnya. Pernikahan menuntut adanya tanggung jawab timbal balik yang wajib dilaksanakan oleh kedua belah pihak, suami istri, sesuai ajaran Islam.Memenuhi hasrat seksual juga merupakan salah satu aspek penting dari pernikahan. Dalam sudut pandang Islam, pernikahan dapat mengontrol nafsu seksual dan menyalurkannya di tempat yang benar. (Haifaa A. Jawad, 2002:105)
Mengenai hikmah pernikahan, sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari tujuannya di atas, dan sangat berkaitan erat dengan tujuan diciptakannya manusia di muka bumi ini. Al-Jurjawi menjelaskn bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan tujuan memakmurkan bumi, di mana segala isinya diciptakan untuk kepentingan manusia. Oleh karena itu, demi kemakmuran bumi secara lestari, kehadiran manusia sangat diperlukan sepanjang bumi masih ada. Pelestarian keturunan manusia merupakan sesuatu yang mutlak, sehingga eksistensi bumi di tengah-tengah alam semesta tidak menjadi sia-sia. Seperti diingatkan oleh agama, pelestarian manusia secara wajar dibentuk melalui pernikahan, sehingga demi memakmurkan bumi, pernikahan mutlak diperlukan. Ia merupakan syarat mutlak bagi kemakmuran bumi. (Ali Ahmad al-Jurjawi, tt:-7)
Lebih lanjut al-Jurjawi menuturkan, kehidupan manusia (baca: lelaki) tidak akan rapi, tenang dan mengasyikkan, kecuali dikelola dengan sebaik-baiknya. Itu bisa diwujudkan jika ada tangan terampil dan professional, yaitu tangan-tangan lembut perempuan,yang memang secara naluriah mampu mengelola rumah tangga secara baik, rapi dan wajar. Karena itu pernikahan disyari’atkan, kata al-Jurjawi, bukan hanya demi memakmurkan bumi, tetapi tak kalah penting adalah supaya kehidupan manusia yang teratur dan rapi dapat tercipta. Dengan demikian kehadiran perempuan di sisi suami, melalui pernikahan sangatlah penting. (Ali Ahmad al-Jurjawi, tt:6-7) Menurut Mustafa al-Khin dalam pernikahan sesungguhnya terdapat hikmah-hikmah yang agung yang dapat digali, baik secara naqliyah maupun aqliyah.
Di antara hikmah-hikmah tersebut adalah: (Mustafa al-Khin dkk, 1987: 13d)
1. Memenuhi tuntutan fitrah Manusia diciptakan oleh Allah dengan memiliki insting untuk tertarik dengan lawan jenisnya. Laki-laki tertarik dengan wanita dan sebaliknya. Ketertarikan dengan lawan jenis merupakan sebuah fitrah yang telah Allah letakkan pada manusia. Islam adalah agama fitrah, sehingga akan memenuhi tuntutan-tuntutan fitrah; ini bertujuan agar hukum Islam dapat dilaksanakan manusia dengan mudah dan tanpa paksaan. Oleh karena itulah,pernikahan disyari’atkan dalam Islam dengan tujuan untuk memenuhi fitrah manusia yang cenderung untuk tertarik dengan lawan jenisnya. Islam tidak menghalangi dan menutupi keinginan ini, bahkan Islam melarang kehidupan para pendeta yang menolak pernikahan ataupun bertahallul (membujang). (At-Turmuzi, tt:393III)
Akan tetapi sebaliknya, Islam juga membatasi keinginan Ini agar tidak melampaui batas yang dapat berakibat rusaknya tatanan masyarakat dan dekadensi moral sehingga kemurnian fitrah tetap terjaga.
2. Mewujudkan ketenangan jiwa dan kemantapan batin Salah satu hikmah pernikahan yang penting adalah adanya ketenangan jiwa dengan terciptanya perasaan-perasaan cinta dan kasih. QS. Ar-Rum: 21 ini menjelaskan
bahwa begitu besar hikmah yang terkandung dalam perkawinan. Dengan melakukan perkawinan, manusia akan mendapatkan kepuasan jasmaniah dan rohaniah. Yaitu kasih sayang, ketenangan, ketenteraman dan kebahagiaan hidup.
3. Menghindari dekadensi moralAllah telah menganugerahi manusia dengan berbagai nikmat, salah satunya insting untuk melakukan relasi seksual. Akan tetapi insting ini akan berakibat negative jika tidak diberi frame untuk membatasinya, karena nafsunya akan berusaha untuk memenuhi insting tersebut dengan cara yang terlarang. Akibat yang timbul adalah adanya dekadensi moral, karena banyaknya perilaku-perilaku menyimpang seperti perzinaan, kumpul kebo dan lain-lain. Hal ini jelas akan merusakfundamen-fundamen rumah tangga dan menimbulkan berbagai penyakit fisik dan mental. (At-Turmuzi, tt:393III)
4. Mampu membuat wanita melaksanakan tugasnya sesuai dengan tabiat kewanitaan yang diciptakan.Dari uraian di atas hanya sekilas tentang hikmah yang dapat diambil dari pernikahan, karena masih banyak hikmah-hikmah lain dari pernikahan, seperti penyambung keturunan, memperluas kekerabatan, membangun asas-asas kerjasama, dan lain-lain yang dapat kita ambil dari ayat al-Qur’an, hadis dan growth-up variable society.
C. Syarat dan rukun nikah
Suatu akad pernikahan menurut hukum Islam ada yang sah dan ada yang batal. Akad pernikahan dikatakan sah apabila akad tersebut dilaksanakan dengan syarat-syarat dan rukun-rukun yang lengkap sesuai dengan ketentuan agama. Mengenai jumlah rukun nikah, tidak ada kesepakatan fuqaha. Karena sebagian mereka memasukkan suatu unsur menjadi hukum nikah, sedangkan yang lain menggolongkan unsur tersebut menjadi syarat sahnya nikah.
Imam asy-Syafi’i menyebutkan bahwa rukun nikah itu ada lima, yaituCalon suami, calon istri, wali, dua orang saksi dan sigat. Menurut Imam Malik rukun nikah itu adalah wali, mahar calon suami, calon istri, sigat.(Abdurrahman al-Jaziri, tt:12) Mahar/ mas kawin adalah hak wanita. Karena dengan menerima mahar, artinya ia suka dan rela dipimpin oleh laki-laki yang baru saja mengawininya. Mempermahal mahal adalah suatu hal yang dibenci Islam, karena akan mempersulit hubungan pernikahan di antara sesama manusia.(Ibrahim M. al-Jamal, 1986:373) Dalam hal pemberian mahar ini, pada dasarnya hanya sekedar perbuatan yang terpuji (istishab) saja, walaupun menjadi syarat sahnya nikah.(Muhammad Abu Zahrah, 1957:123) Sebagaimana saksi menjadi syarat sahnya nikah menurut Imam asy-syafi’i.
As-Sayyid Sabiq dalam hal ini berpendapat, bahwa akad nikah merupakan ijab qabul yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Pihak yang melakukan akad itu memiliki kecakapan, yaitu berakal, balig, dan merdeka.
2. Masing-masing pihak memiliki wewenang yang penuh untuk melakukan akad.
3. Qabul tidak boleh menyalahi ijab, kecuali kalau wali itu menguntungkan pihak yang berijab.
4. Hendaknya kedua belah pihak yang berakad berada dalam satu majlis dan saling memahami ucapan lawan.(As-Sayyid Sabiq, 1973:34-36) Di Indonesia, para ahli hukum Islam sepakat bahwa akad nikah itu baru terjadi setelah dipenuhinya
rukun-rukun dan syarat-syarat nikah, yaitu:
1. Calon pengantin itu kedua-duanya sudah dewasa dan berakal (akil balig).
2. Harus ada wali bagi calon pengantin perempuan.
3. Harus ada mahar (mas kawin) dari calon pengantin laki-laki yang diberikan setelah resmi menjadi suami istri kepada istrinya.
4. Harus dihadiri sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang adil dan laki-laki Islam merdeka.
5. Harus ada upacara ijab qabul, ijab ialah penawaran dari pihak calon istri atau walinya atau wakilnya dan qabul penerimaan oleh calon suami dengan menyebutkan besarnya mahar (mas kawin) yang diberikan.
6. Sebagai tanda bahwa telah resmi terjadinya akad nikah (pernikahan) maka hendaknya diadakan walimah (pesta pernikahan).
7. Sebagai bukti otentik terjadinya pernikahan, sesuai dengan analogi surat Ali-Imran ayat 282 harus diadakani i’lan an-nikah (pendaftaran nikah), kepada Pejabat Pencatat Nikah, sesuai pula dengan UU No. 22 Tahun 1946 jo UU No.32 Tahun 1954 jo UU No.1 Tahun 1974 (lihat juga Pasal 7 KHI Instruksi Presiden RI No.1 Tahun 1991).(M. Idris Ramulyo, 2002:48-49)
Sejak Islam memberikan perhatian secara sungguh-sungguh terhadap pernikahan, yang selalu diperhatikan adalah jaminan bahwa ikatan pernikahan itu dikokohkan Pernikahan dan Hikmahnya Perspektif Hukum Islam YUDISIA, Vol. 5, No. 2, Desember 2014 293 sebagai ikatan yang relatif kuat dan bertahan lama.Untuk menggapai tujuan tersebut, Islam memberikan beberapa aturan dan batasan tertentu yang dapat digunakan untuk menuju kepadanya.
Kesimpulan
Pernikahan sangat dianjurkan Allah SWT, dalam beberapa ayat disebutkan keutamaan menikah oleh karenanya pernikahan merupakan ibadah, kecintaan kita pada istri atau suami dapat mendorong kita untuk membimbingnya pada kebaikan yang menghadirkan kecintaan Allah pada keluarga kita. Adakah cinta yang lebih patut kita harapkan dari cintanya Sang Maha
Pencinta. Nabi Muhammad saw juga menganjurkan kita dalam banyak hadits agar menikah dan melahirkan anak. Beliau menganjurkan kita mengenai hal itu dan melarang kita hidup membujang, karena perbuatan ini menyelisihi Sunnahnya.
Terdapat banyak hikmah dalam pernikahan di antaranya adalah dapat menenteramkan jiwa, dengan begitu akan tercipta perasaan-perasaan cinta dan kasih sayang. Keluarga yang diliputi rasa kasih sayang satu dengan lainnya akan tercipta keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah, meskipun tidak mudah untuk mewujudkannya karena dibutuhkan rasa saling pengertian, saling menghargai antara suami dan istri. Pernikahan yang penuh berkah adalah benteng iman yang paling kokoh, dituntut kesabaran keikhlasan kita dalam mengarungi bahtera yang kadang bergelombang dan berbadai.
Daftar Pustaka
Zakiyah Darajat,Perkawinan yang Bertanggung Jawab, Bulan Bintang, Jakarta,1980.
Abul ‘Ala al-Maududi, Pokok-pokok Pandangan Hidup Muslim, Bulan Bintang, Jakarta, 1968
Mustafa al-Khin dkk., Al-Fiqh al-Manhaji, (Beirut: Dar al-Qalam, 1987), IV: 13.
M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, cet. Ke-4 (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2002).
As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah (Beirut: Dar al-Kitab al-Araby, 1973), II: 34-36.
Ibrahim M. al-Jamal, Fiqh Wanita, alih bahasa Anshori Umar (Semarang: CV. Asy-Syifa,1986).
Haifaa A. Jawad, Otentisitas Hak-hak Perempuan : Perspektif Islam atas Kesetaraan Jender, alih bahasa Anni Hidayatun Noor dkk., cet. Ke-1 (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002)
Abbas Mahmud al-Aqqad, Falsafah al-Qur’an (Mesir: Dar al- Hilal, 1985).