Dinda's Story Part 1

Kohati Semarang
0


Karimunjawa, Juni 2017


“Dinda Mega, biarlah Karimun menjadi saksi bisu perihal cinta kita. Meskipun semesta berusaha memisahkan, aku akan lebih berusaha mencari jalan untuk menyatukan,” ucap Rafa disela deburan ombak air laut di pantai Karimunjawa.

“Dinda Mega, maukah kamu menjadi pelabuhan terakhirku untuk yang pertama dan terakhir?” tambah Rafa seraya menatap manik indah bola mata kecoklatan Mega.

Pemilik bola mata itu kian salah tingkah ketika Rafa mengulurkan kotak merah beludru kepadanya. Ia mendadak mati kutu disertai keterkejutan tanpa ada kata yang lolos dari mulutnya untuk menyambut pertanyaan Rafa.

“Maaf, jika ini terlalu cepat. Namun, aku sudah membulatkan tekadku untuk menyunting Dinda. Aku harap Dinda Mega tidak keberatan dan mau menerimanya.”

Rafa lalu melepas cincin dari kotak merah beludru. Dan dengan singkat cincin bergurat huruf “R” telah melingkar manis di jari Mega. Belum sempat Mega menjawab, terdengar suara

“Drrtt… drrtt … ddrrt.”

“Woahh.. Ya ampun, jam berapa ini?” tanya Mega dengan air muka kusut.

Dengan rasa enggan, Mega lalu mematikan alarm ‘nakal’ di atas nakas samping tempat tidurnya. Mega sampai hati menamai alarm kesayangannya dengan nama ‘nakal’ karena telah berani mengusik mimpi manisnya dengan Rafa. Bahkan, Mega Ingin sekali melanjutkan tidur berharap kejadian Rafa melamar dirinya dapat bersambung kembali. Namun, tuntutan aktivitas tidak mengizinkan Mega untuk merealisasikan rencananya.

“Oke, Mega. Meskipun momen indah itu baru sebatas mimpi, semoga suatu saat nanti benar-benar dapat terjadi. Aaa … jadi tidak sabar,” ucap Mega dengan wajah kemerahan.

Mega kemudian mengambil langkah seribu menuju kamar mandi dan bergegas untuk menjalani aktivitas sebagai mahasiswi di salah satu Universitas di Yogyakarta. Dalam angan, Mega juga ingin segera berjumpa dengan Rafa, lelaki yang kini mengisi hatinya.

Genap dua tahun sudah Mega mengenal Rafa. Takdir mempertemukan mereka pada satu organisasi yang sama. Organisasi Hijau Hitam menjadi saksi dimana benih-benih cinta mereka bermekar. Semua kisah indah itu, berawal dari rival yang terselip rasa kekaguman hingga berakhir pada pengakuan cinta. Memang, ketika menjalani masa pelatihan kader untuk masuk organisasi tersebut, Mega sering bersiteru dengan Rafa karena perbedaan persepsi tentang segala sesuatu, bahkan perseteruan itu terbawa sampai sekarang.

Bahkan, Mega menjadi percaya tentang penyataan‘dunia sesempit daun kelor’, karena sekali lagi, takdir menempatkan Rafa pada kampus yang sama dengan Mega. Padahal, seingat Mega pada perkenalan masa pelatihan kader, Rafa itu berbeda kampus dengannya, jurusannya saja yang sama. Entah apa yang membuat Rafa tiba-tiba pindah kampus atau memang Mega yang salah pendengaran kala itu? Entahlah, Dia tidak mau ambil pusing memikirkannya.

Semenjak kejadian perpindahan kampus, Mega dan Rafa semakin dekat, bukan lagi sebagai rival melainkan teman diskusi bertukar pikiran. Materi kampus, masalah organisasi, masalah sosial mereka diskusikan, memang, perbedaan persepsi malah semakin menguatkan mereka untuk mencapai suatu mufakat.

Dari hasil tukar pikiran itu pula, mereka semakin kagum satu sama lain. Hingga pada titik puncaknya, mereka sama-sama menorehkan komitmen untuk saling menjaga hati dan berjuang meraih mimpi sebelum melangkah pada tahap yang lebih tinggi.

“Semoga dengan hadirnya perasaan ini, semakin menguatkan kita dalam menapaki hidup yang fana. Jalaludin Rumi pernah berkata:

“Cinta mengubah kekasaran menjadi kelembutan, mengubah orang tak berpendirian menjadi teguh berpendirian, mengubah pengecut menjadi pemberani, mengubah penderitaan menjadi kebahagiaan, dan cinta membawa perubahan-perubahan bagi siang dan malam.”

Namun, aku tidak mau memaksa Dinda Mega berubah ke arah yang lebih baik, tetapi biarkan cinta yang menunjukkan alurnya. Aku berharap cinta kita ini dapat mendatangkan keping-keping kebaikan hingga bermuara pada kebahagiaan di masa depan. Semoga saja Dinda,” tutur bijak Rafa kepada Mega sesaat setelah mereka sepakat untuk saling berkomitmen.

Baca Juga  Tak Semestinya Mencinta

“Terima kasih atas curahan cintanya. Mega akan tetap memantaskan diri agar sebanding dengan Rafa. Mega juga akan menggenapi kekurangan Rafa, begitupula sebaliknya,” ucap Mega lembut.

“Maaf, Dinda Mega. Aku tidak bisa jika harus mengutarakan janji selalu membersamaimu. Bukan karena aku tidak sanggup, tetapi ini berkaitan langsung dengan kesakralan. Aku tidak mau menodai kesucian Kuasa Tuhan, Dinda. Perihal masa depan, biarlah skenario semesta yang bekerja.”

“Rafa tidak boleh bicara seperti itu, Mega tidak suka. Kita harus memperjuangkan anugerah Tuhan yang telah dilimpahkan kepada kita. Mega percaya sama Rafa.”

Begitulah jalan hidup Mega dan Rafa. Mereka sama-sama dipersatukan dalam kesuciaan cinta. Sungguh, tiada lagi yang dapat mereka lantunkan selain rasa syukur seiring tumbuh berkembangnya cinta dalam jiwa.

***

Waktu terus berjalan. Musim pun turut berganti. Tepat suatu malam di awal bulan Desember, hujan jatuh membasahi bumi. Tanpa lelah, tiada henti. Bersama gemerlap malam kota pelajar, tidak menyurutkan para manusia untuk sekadar mencurahkan rindu lewat temu.

Di sudut persimpangan jalan, nampak sepasang yang tengah dirundung bahagia, karena dapat berjumpa dan bersitatap muka. Nuansa hujan yang identik dengan kesedihan tidak mampu mengalahkan perasaan bahagia mereka. Temaram lampu ditambah dengan ornamen klasik kafe semakin mendukung suasana hati mereka.

Namun sayang, hal tersebut hanya sebatas imajinasi di pikiran Mega. Rencana pertemuan indah antara Ia dan Rafa, ternyata hanya harap dalam angan. Ia tidak menduga hujan awal bulan Desember akan menjadi sepenggal memori yang tidak akan luput dari ingatan Mega.

“Tidak mungkin. Rafa tidak mungkin berbuat seperti itu. Bukankah Rafa sudah berkomitmen untuk selalu membersamai Mega?” racau Mega dengan wajah yang tertunduk.

Hati Mega semakin tidak menentu tatkala mengingat kembali kejadian di kafe beberapa jam yang lalu. Mega memang sengaja datang terlambat, karena Ia berencana memberi Rafa hadiah atas perolehan prestasi yang didapatnya dalam lomba Karya Tulis Ilmiah tingkat nasional. Tidak disangka, sebelum memasuki kafe, sekelebat Mega menyaksikan hal yang sepatutnya tidak Rafa lakukan bersama dengan perempuan asing. Seketika itu, hancurlah hati Mega. Layaknya cermin yang pecah, kepercayaan Mega kepada Rafa memudar.

“Hati Mega sakit. Kenapa Rafa tega melakukan hal itu. Apa gunanya komitmen suci yang dulu pernah Rafa ucap. Apa gunanya perlakukan manis Rafa kalau pada akhirnya lenyap tanpa makna. Kenapa? Bukankah Rafa sudah bilang kalau mau berkomitmen, berjuang bersama-sama meraih asa?” tanya retoris Mega kepada kursi kosong di persimpangan jalan.

Tetes demi tetes cairan bening membanjiri pipi mulus Mega. Ia mengutuk dirinya sendiri atas mudahnya Mega menerima Rafa. Sejak awal, hubungan mereka memang sudah tidak beres. Kini, Ia hanya bisa menyesal meratapi nasibnya, dan berharap rasa kecewa dalam hatinya akan tiada. Ia kemudian memutus segala bentuk komunikasi antara dia dengan Rafa.

Ia tidak ingin ada hal sekecil apapun yang dapat membuka akses memori Mega tentang Rafa. Namun, ia tidak ingin berlama dalam kubangan penyesalan yang malah akan memperparah rasa sakit hati Mega. Ia akan mencoba untuk berdamai dengan semua, meskipun perasaan gersang mulai melingkupi hatinya.

To be continue . . .

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top