Poligami selama ini telah menjadi suatu hal yang tabu di telinga masyarakat luas, tak terkecuali Indonesia. Bahkan negara yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam ini memiliki pandangan yang bisa dikatakan agak aneh ketika menjumpai kata poligami. Entah apa yang menyebabkan paradigma ini muncul.
Padahal, al-Qur’an sebagai landasan hukum umat Islam
telah menjelaskan di surat an-Nisa ayat tiga, bahwa jika terdapat seorang
lelaki yang mampu, maka ia boleh memilih dua, tiga atau empat perempuan yang ia
sukai. Namun ketika ia belum bisa dikatakan mampu, maka perintah Allah ialah
menikahlah hanya dengan satu perempuan.
Di Indonesia, penggunaan istilah poligami
seringkali disalahpahami. Kebanyakan orang menganggap bahwa jika terdapat
seorang lelaki yang mempunyai istri lebih dari satu, maka secara otomatis itu
adalah perbuatan poligami. Padahal jika dilihat dari berbagai
referensi, istilah poligami mengandung makna umum.
Bahwa poligami berarti orang yang memiliki pasangan
hidup yang berjumlah lebih dari satu, baik oleh laki-laki maupun perempuan.
Selanjutnya dijelaskan bahwa poligami dibagi lagi menjadi dua, yaitu
poligini dan poliandri. Maka, sampai sini dapat dipahami bahwa ketika dalam
pandangan masyarakat terdapat seorang perempuan yang memiliki suami lebih dari
satu disebut sebagai poliandri, maka poligini memiliki makna sebaliknya.
Tidak sedikit perempuan beranggapan bahwa poligami
atau lebih khususnya poligini sangat merugikan baginya. Karena menurutnya,
dalam situasi dan kondisi apapun, dalam lubuk hati perempuan, tetap saja
si doi hanyalah miliknya, tak ada yang lain. Itu
artinya, sebenarnya tanpa kita sadari kebanyakan perempuan memiliki kekukuhan
perspektif dalam hal ini.
Menjadi satu-satunya istri seseorang memang menjadi
sebuah keberuntungan bagi mayoritas perempuan. Apalagi ia sudah merasa nyaman
dalam rumah tangganya, maka seakan memang dunia hanya milik berdua. Namun tak
dapat dipungkiri ketika dalam berjalannya waktu terdapat suatu masalah dalam
kehidupan mereka, atau bahkan suatu hal yang membuat suaminya harus
berpoligini.
Selama 2019 ini perkara kasus perceraian yang diajukan
dari pihak istri (Cerai Gugat) totalnya mencapai 355.842 kasus. Sedangkan kasus
perceraian yang diajukan dari pihak suami (Cerai Talak) mencapai 124.776 kasus
(Netz.id). Melihat hal ini akankah kita akan tinggal diam dan masih
menganggap bahwa poligini itu hal yang naif bagi diri kita? Ataukah kita akan
menganggap poligini adalah salah satu jalan yang benar?
Jika kita pikirkan lebih jauh, sebenarnya anggapan
buruk tentang poligami adalah tidak jauh dari warisan nenek moyang kita, bangsa
Indonesia. selain itu, sikap kebanyakan masyarakat pun seakan-akan menjadikan
poligami sebagai pelampiasan karena ketidakrukunan dalam berumah tangga.
Padahal di negara lain, sebut saja negara Arab, poligini bahkan mungkin sudah menjadi budaya. Ia
beranggapan bahwa semakin memiliki banyak istri, maka semakin pula ia dianggap
sebagai orang kaya. Begitu sebaliknya, ketika perempuan Arab dipoligami, itu
artinya ia memiliki suami yang kaya raya, yang kemudian bisa dilihat oleh
banyak orang bahwa ia adalah orang kaya juga.
Selain itu, secara hakikatnya, sifat lemat lembut,
perasa, adalah sifat khas yang dimiliki seorang perempuan. Maka, wajar saja
ketika dalam kondisi yang tidak ditentukan, dalam hal berpasang-pasangan,
perempuan memiliki rasa kecemburuan yang lebih besar. Begitu pula jika
dikaitkan dengan poligini. Seperti yang pernah dikatakan oleh salah
seorang DPR RI beristri tiga, Lora Fadil, dalam social media, ia
mengatakan bahwa “di antara seribu perempuan hanya satu yang mau dipoligini.
Begitu sebaliknya, diantara seribu perempuan ada 999 perempuan yang tidak mau
dipoligini.” Itu artinya, poligini masih menjadi permasalahan besar dalam
pandangan masyarakat.
Namun di antara permasalahan di atas, terdapat
permasalahan yang memang sangat ditakutkan oleh perempuan ketita ia akan
dipoligini. Hal itu tak lain adalah rasa takut perempuan jika nantinya si suami
tidak dapat berlaku adil, baik dalam hal finansial, berbagi kasih sayang, dan
lain sebagainya. Maka dari itu, seorang lelaki harus memiliki kemampuan
tersebut. Karena jika terdapat lelaki yang dari segi akhlak, ilmu dan finansial
belum bisa dikatakan orang yang mampu, maka dijamin tidak akan berproses lama
poligini tersebut, atau bahkan hanya akan menyakiti diri masing-masing.
Di sisi lain, untuk mengubah stigma masyarakat tentang
poligini, maka perlu adanya asupan-asupan pengetahuan, bahkan praktek sosial,
yang nantinya dapat membantu warga Indonesia yang masih kaku dalam memandang
hal ini.
Sehingga, secara keseluruhan warga Indonesia yang
mayoritas adalah muslim dapat mengetahui bagaimana idealitas yang
sebenarnya. Karena sebenarnya poligami bukan menjadi hal yang condong
kepada kejelekan dalam keluarganya. Bahkan Lora Fadil bercerita tentang kehidupan
rumah tangganya selalu rukun setelah terjadi poligami. (Tirto.id)
Begitu pun sebaliknya, maka sebagai seorang perempuan
harus bisa mengontrol dirinya. Toh semisal ia
yang dipoligini, ia harus bisa pula menyesuaikan diri. Mungkin saja,
boleh dengan cara ia menganggap dan memperlakukan marunya sebagai saudara sejak
lahir, dan masih banyak cara lain untuk menanggulangi hal itu. Bahkan bisa saja
dijadikan untuk menunjukkan kekompakan dan kerukunan dalam berkeluarga.
Yang terpenting, apapun yang kita lakukan tidak melanggar norma yang
berlaku, baik norma agama, susila, kesopanan, maupun norma hukum.
Meski begitu, soal poligini ini ada yang berpendapat
lebih berkaitan dengan masalah prinsip berumah tangga, bukan secara khusus
mengacu pada problem agama. Misalnya saja begini, banyak orang menerima
poligami, tapi tidak melakukannya. Dia menghargai orang yang poligami, tapi dia
sendiri tak mau melaksanakannya. Baginya, cinta itu hanya satu dan tidak bisa
dibagi-bagi.
Pada titik ini, orang sudah keluar dari batasan-batasan,
dan lebih mengupayakan cinta sejati bersama istri dan pasangannya. Namun pada
dasarnya, meski ia sudah berprinsip, paradigma ini tentunya juga perlu
diperbaiki. Sebagai umat Rasul Muhammad, kita harus mengetahui bahwa poligini
bukan hal yang naif jika terjadi dalam diri sendiri. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Sumber: Baladena.id